Prasasti Karang Bogem, sebuah prasasti berasal dari zaman Majapahit berangka tahun 1387 M ditemukan di Karang Bogem (masuk kawasan Kecamatan Bungah sekarang) memuat nama Gresik dalam Bahasa Jawa kuno, berikut isinya:
Bagian muka :
“ Iku wruhane para mantri ing tirah, aryya songga, pabayeman, aryya carita purut, patih lajer, wruhane yen ingong amage-
haken karange patih tambak karang bogem, penangane, kidul lebuh, panangane wetan sadawata anutug segera pisan,
penangane kulon babatan demung wana, anutug segera pisan, pasawahane sajung babatan akikil, iku ta malerahaja den siddhigawe
Hana ta kawulaningong saking Gresik warigaluh ahutang saketi rong laksa genep sabisane hasikep rowang warigaluh luputata pangarah saking si-
dhayu kapangarahan po hiya sakti dalem galangan kawolu anghaturakna tahiya bacan bobot sewu sarahi atombak sesine
tambake akature ringong, hana ta dagang angogogondhok, amahat, luputa ta ring arik purih saprakara, knaha tahiya ring pamuja.”
Bagian belakang :
“Sategah, anuta sarrarataning wargga taman sebhumi. Tithi, ka 7, cirah 8 // andaka kakatang//.”
Terjemahan dalam bahasa Indonesia :
Bagian muka :
“Bahwa inilah surat yang harus diketahui oleh para mantri Tirah, yang mulia Songga dari Pabayeman, yaitu yang mulia Carita dari Purut, Patih Lajer. Mereka hendaknya mengetahui bahwa kita telah
menetapkan daerah seorang patih tambak Karang Bogem. Perbatasannya di sebelah selatan dengan sebidang ladang, di sebelah timur berbatasan dengan tanah yang mendatar dari laut.
Di sebelah barat berbatasan dengan tanah penebasan hutan belukar kayu demung yang mendatar dari laut. Adapun luasnya sawah satu jung dan penebasan satu kikil. Demikian perbatasan itu. Jangan diganggu penetapan itu.
Kemudian adalah seorang warga kami berasal dari Gresik, kerjanya sebagai nelayan, mempunyai utang sejumlah satu kati dua laksa (kira-kira 120.000 ?). Sedapat-dapatnya dia akan memungut bantuan sesama nelayan. Kini mereka, akan bebas dari tuntutan dari pihak Si-
dhayu, tetapi mereka harus memenuhi tuntutan dari negeri (Majapahit). Di galangan kedelapan (kawolu) mereka harus membayar terasi (hacan, belacan) seberat seribu timbangan
Hasil tambak harus diberikan kepada kita (kerajaan). Kemudian pedagang anggogogondhok yaitu para penyadap nira, mereka juga dibebaskan dari pembayaran arik pundik bermacam-macam cukai. Mereka sekarang harus dikenakan cukai pamuja (cukai kerajaan).”
Bagian belakang :
“Seperdua menurut adat kebiasaan umum bagi warga taman diseluruh negara. Tertanggal 7, bulan tahun syaka 8 // tertanda katang //.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar